foto illustrasi, aliran naqsabandiyah |
Ajaran Washiliah ini terdiri dari empat pokok:
Pertama, menolak adanya sifat-sifat Allah seperti Ilmu, Qudrat, Iradat dan Hayat. Pendapat dalam masalah ini pada mulanya belum begitu jelas maka Washil ibn Atha dianggap orang yang mempeijelasnya. Menurutnya mustahil ada dua Tuhan yang qadim dan azali. Katanya: siapa yang mengakui adanya sifat qadim pada zat Allah maka ia mengakuinya adanya dua Tuhan. Pendapat ini dicetuskannya setelah ia mempelajari buku-buku filsafat dan dalam studinya terhadap pendapat-pendapat para filosof ia berkesimpulan bahwa sifat itu tidak ada pada Allah seperti keadaan Allah Maha Mengetahui. Maha Kuasa dan kemudian katanya kedua sifat yang disebut di atas sebenarnya adalah zat-Nya, keduanya adalah istilah (‘itibariah) bagi zat yang qadim seperti apa dikatakan Juba’i atau keduanya hal (keadaan) seperti yang dikatakan Abu Hasyim.
Kecenderungan Abu Hasan Bashri mengembalikan kedua sifat di atas ke dalam satu sifat yang dinamakan sifat ‘aliyah yang seperti ini persis seperti pendapat para filosof yang akan penulis kemukakan.
Sedang para ulama salaf berbeda pendapat dengan Washiliah ini, karena mereka temukan sifat-sifat itu tercantum df dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua, tentang takdir. Mereka sependapat dengan Ma’bad al-Jauhari (80 H) dan Gilan al-Damisqi. Pendapat Washil dalam masalah ini melebihi pendapatnya tentang sifat. Katanya: Allah adalah hakim yang adil, karenanya tidak mungkin dapat disandarkan kepada-Nya keburukan dan kezaliman, tidak mungkin Allah menghendaki dari manusia sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diperintah-Nya. Mustahil Allah menyiksa manusia terhadap perbuatan yang bukan dari manusia sendiri. Karena manusia itulah yang melakukan perbuatan sendiri, perbuatan baik maupun burujk:, perbuatan maksiat dan kekafiran, ketaatan dan kemaksiatan. Manusia akan menerima akibat dari berlaku zalim. Perbuatan manusia terbatas pada gerak dan diam, pada keinginan, pikiran dan pengetahuan. Katanya: mustahil kalau terjadi Allah memerintahkan manusia melakukan sesuatu kemudian Allah memerintahkan manusia melakukan perbuatannya. Siapa yang menolak pendapat Ini sama artinya ia telah menolak sesuatu yang oleh akal mudah diterima* Washil banyak mengemukakan dalil pendapatnya ini dengan mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an.
Penulis pernah membaca sebuah surat yang dikatakan berasal dari Hasan Basri yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan khalifah Abdul Malik ibn Marwan yang menanyakan tentang qadar dan jabar. Hasan menjawab sama seperti pendirian mazhab Qadariyyah yang diperkuat dengan dalil ayat-ayat Al-Qura’an dan dalil akal. Namun menurut hemat penulis surat itu bukan dari Hasan Bashri tetapi dari Washil ibn Atha. Penulis beranggapan demikian karena pendapat Hasan Bashri tidak akan menyalahi pendapat ulama salaf yang mengakui tentang qadhah baik dan buruk pada hakikatnya dari Allah. Keyakinan yang seperti ini seolah-olah menjadi ijmak ulama salaf. Kaum Mu’tazilah mengemukakan alasan: alangkah anehnya kalau kata yang mengandung pengertian tersebut di atas mengandung arti ganda; bencana dan kebaikan, kemelaratan dan kemakmuran, sakit dan kesembuhan, hidup dan mati semuanya perbuatan Allah, bukankah kebaikan dan keburukan dari perbuatan manusia.
Ketiga, ia berpendapat tentang manzilatain (berada antara dua tempat). Pada suatu hari Washil ibn Atha datang menemui Hasan Bashri dan berkata: wahai pemuka agama telah lahir dizaman kita ini sekelompok manusia yang mengkafirkan setiap orang yang melakukan dosa besar. Dosa besar menurutnya yang menyebabkan kekafiran dan kelompok ini adalah kaum Khawarij. Ada lagi sekelompok manusia yang menyerahkan urusannya kepada Allah tentang orang yang berbuat dosa besar. Menurut mereka dosa besar tidak mempengaruhi iman, karena perbuatan menurut mereka bukan termasuk rukun (unsur) iman. Iman tidak akan rusak karena berbuat dosa besar demikian juga ketaatan tidak dipengaruhi oleh kekafiran. Kelompok ini dinamakan “Murji’ah.” Karena itu bagaimana pendapatmu tentang pendirian dari dua kelompok ini?
Hasan Bashri berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban pertanyaan itu. Namun Washil ibn Atha lebih dahulu menjawab pertanyaannya sendiri, katanya: kukatakan orang yang melakukan dosa besar masih dianggap beriman dan juga bukan kafir. Setelah mengucapkan ucapan itu ia keluar dari masjid dan memisah diri dari kelompok Hasan Bashri. Dan ia mempertahankan pendiriannya di hadapan murid-murid Hasan Bashri. Hasan Bashri berkata: telah inemisahkan diri (‘itizal) Washil dari kelompok kita. Karena itu Washil dan rekan-rekannya yang sama pendiriannya dinamakan “Mu’tazilah” yakni orang yang memisah diri.
Washil ibn Atha mengemukakan alasan bahwa iman terdiri dari unsur-unsur kebaikan. Apabila semuanya lengkap dinamakan orang beriman yang terpuji. Sebaliknya orang munafik adalah unsur imannya kurang, ia tidak dapat dikatakan orang yang terpuji dan beriman dan juga tidak dapat dikatakan orang yang celaka yang kafir. Karena itu persaksiannya dan sebagian perbuatan baiknya masih ada pada dirinya dan ini tidak dapat dipungkiri. Namun apabila ia meninggal sedang ia telah melakukan dosa besar dan tidak bertobat, maka ia termasuk penghuni neraka yang kekal. Karena di hari akhirat itu hanya ada dua kelompok; penghuni neraka dan penghuni surga, namun siksa yang dikenakan kepadanya lebih ringan dari siksa yang diderita orang yang kafir.
Orang yang menjadi pengikut Washil ini di antaranya Amrun ibn Ubaid (80 - 144 H) yang menerima pendapatnya tentang qadar dan menolak adanya sifat bagi Allah.
Keempat, tentang orang yang terlibat dalam peperangan J amal dan Shiffin. Menurutnya salah satu kelompok memang tersalah demikian juga orang yang membunuh dan menghina Utsman ibn Affan. Katanya: salah satu kelompok jelas berbuat fasik demikian juga berlaku bagi orang yang saling mengutuk (li’an), namun tidak diketahui dengan persis kelompok yang mana. Karena itu minimal hukuman yang dikenakan kepada kedua kelompok, bahwa pgrsaksiannya tidak diterima seperti tidak diterima persaksian dua orang yang saling mengutuk. Karena itu menurutnya tidak diterima persaksian ‘Ali ibn Abi Thalib, Jubair dan Thalhah dan mungkin juga yang tersalah Utsman ibn Affan. Demikian pendapat Washil ibn Atha sebagai pemimpin Mu’tazilah dan pendiriannya terhadap para sahabat dan keluarga Rasulullah.
Di atas telah dikemukakan orang yang menerima pendapat Washil ibn Atha adalah Amrun ibn Ubaid. Ia mempertahankan dan memperjelas salah satu kelompok yang dianggapnya tersalah tanpa menyebut kelompoknya. Katanya kalau dua orang dari salah satu kelompok naik saksi umpamanya ‘Ali dan salah seorang tentaranya atau Zubair dan Thalhah maka persaksian mereka tidak dapat diterima. Pendapat yang seperti ini yang lebih mempertegas bahwa salah satu kelompok masuk neraka. Amrun ibn Ubaid menurut para pengikutnya termasuk perawi hadits, orang yang dikenal zuhud sedang Washil ibn Atha dikenal dengan perilakunya yang terpuji.
Baca juga:
- Mengenal Aliran Al-Bisyariyyah | Sejarah dan Aqidahnya
- Terjemah Al-Milal wa Al-Nihal | Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia
- Mengenal Sekte Aliran Al-Washiliyyah | Sejarah dan Aqidahnya
- Mengenal Aliran Al-Huzailiyyah | Sejarah dan Aqidahnya
- Mengenal Aliran Al-Mu’ammariyyah | Sejarah dan Aqidahnya
- Mengenal Sekte Aliran Al-Mardariyyah | Sejarah dan Aqidahnya
Sumber: Al Milal wa Al Nihal (Buku 1), diterjemahkan Prof. Asywadie Syukur, Lc, pt. Bina ilmu, Surabaya.
0 Komentar