Mengenal Aliran Al-Huzailiyyah | Sejarah dan Aqidahnya

11:43:00 AM
Jurnalmuslim.com - Nama lengkapnya Abu Huzail Hamdan ibn Huzail al-Allaf (135 -226 H), salah seorang tokoh Mu’tazilah dan penyusun konsep Mu’tazilah. Ia belajar dengan seorang yang bernama Utsman ibn Khalid ibnThawil sedang Utsman ibn Khalid ibn Thawil pernah belajar dengan Washil ibn Atha yang menerima ajaran itu dari Abu Hasyim Abdullah ibn Muhamad ibn Hanafiah. Dikatakan orang ajaran itu diambilnya dari Hasan Bashri. Abu Huzail berbeda pendapat dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah lainnya dan perbedaan ini kelihatan pada sepuluh masalah:

illustrasi, foto jama'ah naqsabandiyah

Pertama, bahwa Allah Maha Mengetahui dengan Ilmu-Nya. Menurutnya Ilmu Allah itu adalah zat-Nya, Quadrat Allah dengan Quadrat-Nya dan Quadrat itu adalah zat-Nya. Hayat Allah dengan Hayat-Nya dan Hayat adalah zat-Nya. Pendapat ini diambilnya dari pendapat para filosof yang mengakui zat Allah Maha Esa yang tidak terbilang. Sifat bukan sifat yang berdiri pada zat bahkan sifat adalah zat itu sendiri melalui ketentuan kausalitas seperti yang akan penulis terangkan akan datang.

Ada perbedaan antara orang yang mengatakan Ilmu Allah dengan zat-Nya bukan dengan sifat ilmu-Nya, dan antara pendapat yang mengatakan sifat ialah zat-Nya. Pendapat pertama menolak adanya sifat sementara pendapat kedua menetapkan adanya zat dan zat adalah sifat atau menetapkan sifat itu juga zat. Menurut Abu Huzail kalau mengakui sifat itu ada pada zat sama saja mengakui oknum-oknum ketuhanan dalam ajaran Nasrani atau sekurangnya dikatakan sifat itu adalah hal (yang tidak dapat dikatakan ada dan tidak ada).

Kedua, menurutnya Iradah Allah tidak ada tempatnya, Allah hanya menghendakinya. Huzail-lah yang pertama yang mengemukakan masalah ini yang kemudian dikembangkan dan kemudian diikuti oleh orang lain.

Ketiga, menurutnya ada sebagian Kalam Allah yang tidak mempunyai tempat seperti “lain” dan ada sebagian Kalam Allah yang mempunyai tempat seperti amar, nahi, berita dan sebagainya. Menurutnya perintah (amar) menciptakan bukan amar taklifi (pembebanan).

Keempat, pendapatnya tentang masalah sama pendiriannya dengan pendirian rekan-rekannya yang terdahulu. Namun sebagai tambahan dari pendapat pendahulunya tentang apa yang akan berlaku di akhirat juga berdasarkan takdir Allah. Menurutnya orang yang kekal di dalam neraka adalah berdasarkan takdir Allah dan tidak ada seseorang juapun yang dapat mengelaknya. Karena semuanya adalah ciptaan Allah bukan akibat dari usaha manusia, karena itu kalau termasuk usaha manusia dapat menghindarinya.

Kelima, menurutnya proses orang yang kekal di dalam neraka terputus dan tidak menerima perubahan. Kumpulan kebaikan bagi ahli surga dan kumpulan kesengsaraan bagi ahli neraka. Pendapat ini mirip dengan pendapat Jaham ibn Safwan yang menurutnya surga dan neraka akan fana Juga. Abu Huzail yang menganut pendirian ini mengaitkan bahwa alam seluruhnya baharu. Alam atau segala yang baharu ada yang berawal dan ada yang berakhir, karena itu keduanya tidak kekal. Katanya aku mengatakan ada yang baharu yang berawal dari semuanya tidak statis. Kesimpulan pendapatnya setiap yang baharu yakni menerima perubahan tidak statis.

Keenam pendapatnya tentang kemampuan termasuk sifat yang mendatang pada manusia, seperti sakit dan sehat. Ia membedakan antara pikiran atau keinginan dan perbuatan. Katanya tidak mungkin ada pikiran tanpa diiringi kemampuan pada saat melahirkan perbuatan dan berikutnya barulah lahir perbuatan. Katanya keinginan berbuat bukan perbuatan dan apa saja yang menjadi akibat perbuatan itu juga termasuk perbuatan manusia terkecuali warna, rasa, bau dan hal-hal yang tidak diketahui hakikatnya. Katanya daya tanggap dan pengetahuan keduanya baharu, terkecuali pendengaran pada saat mendengar dan pengetahuan pada saat tahu, keduanya adalah ciptaan Allah karena itu bukan termasukperbuatan manusia.

Ketujuh, pendapatnya tentang mukallaf sebelum diturunkan wahyu. Orang yang ada sebelum diturunkan wahyu wajib mengenal Allah dan kalau ia mengabaikannya ia akan dikenakan dosa dan siksa. Dan juga orang yang ada sebelum diangkat rasul sudah mengenal baik dan buruk, karenanya ia wajib memperbuat yang baik seperti berlaku benar dan adil dan menyingkir dari yang buruk seperti berlaku dusta dan zalim. Katanya perbuatan taat bukan hanya ibadah dan sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi semua perbuatan baik adalah ibadah. Pendapatnya terhadap perbuatan yang tidak disukai apabila perbuatan tidak diketahuinya baik atau buruk hendaknya ia menjauh daripadanya, ia boleh berdusta dan dosa berdusta kembali kepada orang yang memperbuat perbuatan itu.

Kedelapan, pendapatnya tentang ajal (usia) dan rezeki. Ajal manusia tidak bertambah dan tidak berkurang karena itu kalau ia mati terbunuh berarti ajalnya putus kalaulah tidak dibunuh ia akan hidup sampai akhir ajalnya. Rezeki menurutnya ada dua macam (1) Setiap yang diciptakan Allah yang bermanfaat dapat dikatakan rezeki bagi manusia. Sesuai dengan pendapat tadi siapa yang mengambil manfaat atau memakan sesuatu yang bukan menjadi rezeki bagi manusia maka ia keliru karena mengambil yang bukan dijadikan Allah sebagai rezeki baginya. (2) Barang yang diciptakan Allah tidak semuanya termasuk rezeki bagi manusia karena barang yang halal itulah yang menjadi rezeki bagi manusia dan yang haram tidak termasuk rezeki bagi manusia karena Allah melarang mengambilnya.

Kesembilan, Ka’bi meriwayatkan dari Huzail yang mengatakan Iradat Allah bukan yang diinginkan Allah. Iradat Allah hanya terjadi pada saat menciptakan. Allah menciptakan sesuatu menurutnya bukan sesuatu itu bahkan firman-Nya yang tidak mempunyai wujud. Katanya Allah selamanya mendengar dan melihat dengan pengertian selagi akan melihat dan mendengar. Demikian juga Allah selamanya mengampuni dosa, kasih sayang, memberikan kebaikan, pencipta, memberikan rezeki, memberikan pahala, membalas perbuatan jahat, memerintah, melarang dan semua ini diartikan selagi akan terjadi.

Kesepuluh, juga Ka’bi meriwayatkan dari Huzail yang katanya pembuktian terhadap yang hilang tidak akan diterima terkecuali dari dua puluh orang dan dalam kelompok itu ada satu atau dua orang termasuk penghuni surga. Bumi ini tidak pernah kosong dari orang yang seperti itu dan mereka itu adalah wali Allah yang terpelihara dari segala kesalahan (ma’shum), tidak pernah berdusta, tidak melakukan dosa besar, persaksian mereka itu menjadi bukti bukan karena banyaknya saksi. Karena mungkin saja satu kelompok berdusta, sedang mereka bukan orang yang dipelihara dari kesalahan tanpa melihat kepada jumlahnya. Karena kalau tidak ada waliullah dalam kelompok itu persaksian mereka tidak diterima.

Pendukung Abu Huzail ini 'di antaranya Abu Ya’kub as-Syaham (267 H) dan al-Adami yang kedua orang ini sependapat dengan Abu Huzail. Usia Abu Huzail mencapai seratus tahun dan ia meninggal pada awal pemerintahan khalifah al-Mutawakil yang memerintah pada tahun 235 H.

Baca juga: 

Sumber: Al Milal wa Al Nihal (Buku 1), diterjemahkan Prof. Asywadie Syukur, Lc, pt. Bina ilmu, Surabaya.
Previous
Next Post »
0 Komentar