Mengenal Aliran Al-Mu’ammariyyah | Sejarah dan Aqidahnya

11:49:00 AM
Jurnalmuslim.com - Pendiri aliran Mu’ammariyyah adalah Muamar ibn ‘Ubbad as-Salma (220 H), yang tergolong tokoh terpenting yang menentang adanya sifat bagi Allah. Dia juga menolak ketetuan (takdir) baik dan buruk berasal dari Allah, dan pendapatnya yang berbeda dengan yang lainnya tentang kafir dan sesat. Sekalipun tokoh ini termasuk mazhab Mu’tazilah namun dalam beberapa hal dia berbeda pendapat dengan rekan-rekannya semazhab.

illustras, foto aliran naqsabandiyah

(1) Allah hanya menciptakan materi sedang sifat dan keadaan materi tumbuh dari materi itu sendiri. Membakar memang keadaan dari apa yang bisa membakar, matahari memang mengeluarkan sinar, bukan memang bercahaya dari sinar dan cahaya itu lahirlah warna. Termasuk juga semua perbuatan yang ikhtiari dari makhluk seperti gerak dan diam, bersatu dan berpisah. Aneh lagi pendapatnya tentang materi dan fana, yang menurutnya disebabkan dua hal; bagaimana dapat dikatakan keduanya termasuk perbuatan materi? Kalau Allah tidak menciptakannya tidak akan ada fana. Karena itu penciptaan adanya materi termasuk juga sifat materi yang sangat : bertentangan dengan pendapatnya sifat bukan ciptaan Allah, j Kemudian pendapatnya tentang Kalam Allah termasuk sifat atau materi? Kalau dikatakan sifat berarti bukan ciptaan Allah sedang Kalam itu sendiri pada hakikatnya termasuk perbuatan dari yang berbicara atau juga kalau dikatakan Kalam Allah tidak ada karena Kalam itu sendiri termasuk sifat. Kalaulah juga dikatakan Kalam termasuk materi sangat bertentangan dengan pendapat yang mengatakan setiap sifat memerlukan tempat. Kalau dikatakan Kalam termasuk materi sedang materi tidak memerlukan tempat. Ia tidak mengakui adanya sifat azali dan tidak pula mengakui sifat itu ciptaan Allah. Karena itu kesimpulan pendapatnya bahwa Allah tidak mempunyai Kalam. Sesuai dengan pendapatnya di atas kalau Allah tidak mempunyai Kalam berarti tidak ada perintah dan larangan dan tidak ada syariat maka pendapat ini tertolak.

(2)    Katanya sifat dan keadaan tidak berhenti, setiap sifat ada pada materi sebagai tempat adanya, adanya pada tempat itulah dinamakan sifat. Kalau demikian akan terjadi lingkaran tasalsul (saling berkaitan), yang tidak akan ada ujung pangkalnya. Karena pendapat inilah ia dan temannya dinamakan penganut teori ma’ani. Dan ditambahnya lagi gerak kebalikan dari diam bukan berdiri sendiri, demikian juga perubahan dari sesuatu kepada lawannya semua ini menurutnya hanya ada dalam khayalan.

(3)    Al-Kahi mengutip dari Mu’ammar bahwa Iradat Allah bukan sifat Allah, tetapi termasuk perintah, berita dan hukum Allah. Dikuatkannya dengan alas an bahwa perintah yang belum kita ketahui. Katanya: manusia tidak mempunyai perbuatan terkecuali keinginan, baik langsung atau tidak langsung. Setiap perbuatan berdiri sendiri seperti duduk, gerak, diam, baik dan buruk semuanya disandarkan kepadanya baik langsung atau tidak langsung. Pendapat ini memang aneh namun dijadikan dasar mazhabnya tentang hakikat manusia. Manusia menurutnya adalah rohani bukan jasmani, manusia yang mengetahui, kuasa, memilih dan tidak diam, tidak tersusun dari bagian-bagian tidak dapat disentuh dan diraba dan tidak merasa, tidak menempati ruang dan tidak pula dapat di tempati sesuatu, tidak dibatasi waktu. Manusia yang menggerakkan jasmani, hubungan manusia dengan jasmani hanya hubungan memerintah dan menggerakkan. Pendapat yang seperti itu tampaknya diambilnya dari pendapat para filosof yang mengakui adanya jiwaberupa materi yang halus, berdiri sendiri, dan tidak menempati ruang dan adanya hanya dapat ditemui akal seperti adanya akal yang terpisah dari jasmani. Mua’ammar ibn ‘Ubbad mengambil pendapat para filosof yang membedakan perbuatan jiwa yang olehnya dinamakan manusia dan dengan jasmani yang menjadi tempatnya. Katanya: perbuatan jiwa itu hanya berupa keinginan (Iradah) sedang perbuatan yang lain seperti gerak dan diam termasuk perbuatan jasmani.

(4) dikatakan bahwa Mu’ammar mengingkari pendapat yang mengatakan zat Allah itu qadim karena kata qadim menurutnya berasal dari kata qaduma, yaqdumu, fa huwa qadis yang termasuk kata kerja seperti perkataan orang ada yang lama dan ada yang baru. Menurutnya dapat dirasakan adanya didahului waktu, sedang khalq (ciptaan) bukan makhluk (yang diciptakan), membarui (ahdas) bukan yang memperbarui (muhdas).

Ja’far ibn Harb menukil ucapan Mu’amar yang mengatakan mustahil Allah mengetahui zatnya sendiri karena kalau Allah mengetahui (aalim) dengan yang diketahui (ma’lum). Karena itu mustahil bagi Allah juga mengetahui yang lainnya. Demikian juga mustahil Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dari sisi penciptaannya. Pendapat yang seperti ini jelas tidak masuk akal dan setiap orang yang berakal menolaknya.

Mu’ammar lebih cenderung kepada pendapat para filosof di antaranya pendapat yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan Allah tidak meliputi segala yang dapat diketahuinya, bahkan ilmu Allah yang berasal dari zat-Nya yang Maha Mengetahui dari ilmu yang seperti itulah Allah mengetahui. Hanya ilmu Allah ada: kaitannya dengn apa yang ada kaitannya dengn sesuatu yang tidak ada untuk selama-lamanya. Mu’ammar ibn ‘Ubbad berkata: tidak dapat dikatakan bahwa Allah mengetahui zat-Nya akan terjadi kesatuan antara yang mengetahui (aalim) dan yang diketahui (ma’lum). Dan juga selain Allah tidak mengetahuinya dan kalau terjadi ilmu Allah dari selain Allah, baik sebelum atau sesudah turun wahyu, sedang wahyu hanya menerangkan secara inflisit. Penulis sangat tidak sependapat dengan Mu’ammar ibn ‘Ubbad dan menolak pendapatnya.


Baca juga: 

Sumber: Al Milal wa Al Nihal (Buku 1), diterjemahkan Prof. Asywadie Syukur, Lc, pt. Bina ilmu, Surabaya.
Previous
Next Post »
0 Komentar