Trendtv.Website - Mungkin saat itu anak pertama usia 4 atau 5 tahun. Komunikasi tentu saja lancar. Saat bertamu di rumah tetannga, kami disuguhi teh. Anak siap mau minum karena memang tak panas2 amat. Dia menerawang gelas teh dengan cara mengangkatnya dan memeriksa isinya.
Dia teriak-teriak kepada ibunya, "Ma.... ini ada kotorannya."
"Kotoran apa? Itu bersih Nak..." Sambil menahan malu kepada tuan rumah.
"Ini Ma.... Ada kaki semut," katanya yakin.
Kami pun tersenyum. Memang kaki semut kelihatan to Nak?
Beginilah resikonya kami mendidiknya terlalu menjaga kebersihan. Bahkan karena kami selalu mendidiknya untuk pipis di dalam toilet dan sama sekali tidak pernah pipis di luar toilet, kami pun kelabakan saat bepergian dari Solo ke Banyuwangi, sementara bis tidak ada toiletnya waktu2 itu. Bahkan ketika bis berhenti di pinggir persawahan dan dia kami suruh pipih di alam terbuka, dia pun sama sekali ndak mau dan ndak bisa pipis. Tangis makin keras. Setelah kami bujuk2, barulah dia bisa pipis.
Beginilah resikonya kami mendidiknya terlalu menjaga kebersihan. Bahkan karena kami selalu mendidiknya untuk pipis di dalam toilet dan sama sekali tidak pernah pipis di luar toilet, kami pun kelabakan saat bepergian dari Solo ke Banyuwangi, sementara bis tidak ada toiletnya waktu2 itu. Bahkan ketika bis berhenti di pinggir persawahan dan dia kami suruh pipih di alam terbuka, dia pun sama sekali ndak mau dan ndak bisa pipis. Tangis makin keras. Setelah kami bujuk2, barulah dia bisa pipis.
Terkadang di balik kebaikan yang hendak kita tanamkan kepada anak2 pun masih mendatangkan resiko lain.
Source: Facebook Kathur Suhardi
illustrasi |
Dia teriak-teriak kepada ibunya, "Ma.... ini ada kotorannya."
"Kotoran apa? Itu bersih Nak..." Sambil menahan malu kepada tuan rumah.
"Ini Ma.... Ada kaki semut," katanya yakin.
Kami pun tersenyum. Memang kaki semut kelihatan to Nak?
Beginilah resikonya kami mendidiknya terlalu menjaga kebersihan. Bahkan karena kami selalu mendidiknya untuk pipis di dalam toilet dan sama sekali tidak pernah pipis di luar toilet, kami pun kelabakan saat bepergian dari Solo ke Banyuwangi, sementara bis tidak ada toiletnya waktu2 itu. Bahkan ketika bis berhenti di pinggir persawahan dan dia kami suruh pipih di alam terbuka, dia pun sama sekali ndak mau dan ndak bisa pipis. Tangis makin keras. Setelah kami bujuk2, barulah dia bisa pipis.
Beginilah resikonya kami mendidiknya terlalu menjaga kebersihan. Bahkan karena kami selalu mendidiknya untuk pipis di dalam toilet dan sama sekali tidak pernah pipis di luar toilet, kami pun kelabakan saat bepergian dari Solo ke Banyuwangi, sementara bis tidak ada toiletnya waktu2 itu. Bahkan ketika bis berhenti di pinggir persawahan dan dia kami suruh pipih di alam terbuka, dia pun sama sekali ndak mau dan ndak bisa pipis. Tangis makin keras. Setelah kami bujuk2, barulah dia bisa pipis.
Terkadang di balik kebaikan yang hendak kita tanamkan kepada anak2 pun masih mendatangkan resiko lain.
Source: Facebook Kathur Suhardi
0 Komentar