Tentang Rasa Yang Harusnya Sirna (Sebuah Kisah Nyata)

11:20:00 AM
Farid. 16 tahun. Saat ini ia duduk di bangku kelas tiga SMA. Tidak jauh berbeda dengan siswa lainnya, ia sibuk mempersiapkan ujian nasional yang sudah di depan mata. Ia dikenal sebagai pemuda pendiam. Meskipun begitu dia sangat mudah bergaul. Pribadinya yang menyenangkan membuat dia dikenal banyak orang.

illlustrasi, pasangan pasutri dalam islam

Farid bukanlah siswa yang langganan juara. Prestasi terbaiknya hanya peringkat ke 5 di kelas 2. Itupun hanya sekali. Sisanya ia hanya bertengger di peringkat 8 sampai 12. Meskipun pendiam dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Kesukaannya terhadap Sarah sering menjadi bulan-bulanan bagi teman-temannya. Semua bermula ketika Imam memancingnya untuk bercerita tentang perempuan yang ia sukai. Sarah. Ia bercerita kalau keanggunan sikap gadis itu yang membuat ia suka. Keindahan sosoknya. Kecerdasannya. Semua terasa begitu memesona. Mereka bercerita panjang lebar hingga azan ashar menghentikan mereka berdua. Awalnya Imam berjanji untuk menjaga rahasia hatinya itu hanya berdua saja. Tapi entah kenapa sekarang hampir satu sekolah mengetahuinya.

Kabar itu pun terdengar di telinga sarah. Namun ia hanya menanggapinya dengan sikap dingin. Farid hanyalah satu dari sekian banyak laki-laki yang menyukainya. Jika ia adalah sebuah pilihan, mungkin akan menjadi pilihan kesekian di mata Sarah. Farid pun sadar. Siapalah dirinya. Sarah yang selalu juara umum, mungkin akan menyukai yang setidaknya bisa menyainginya. Ia yang berparas cantik, sangat mungkin memilih yang setidaknya selevel dengan dirinya. Menyadari itu Farid menahan hatinya hanya untuk sekedar berniat meminang gadis yang menjadi cinta pertamanya itu kelak.

*****

Waktu berlalu. Baju seragam yang dulu putih abu-abu kini sudah tidak karuan. Rambut panjang yang dahulu dilarang kini sudah dibebaskan. Inilah dunia kuliah. Dunia yang sedang ditapaki Farid dan kawan-kawannya. Sedikit berbeda dengan ketika ia masih di SMA, di kampus ia sering menghadiri kajian-kajian islam. Banyak ilmu yang ia dapatkan. Tentang aqidah, adab, akhlak, dan masih banyak lagi lainnya. Ia amat suka mendalami itu semua sebagai bekal hidupnya.

Tentang jodoh... Farid sudah mendapatkan yang ia inginkan. Bukan Sarah. Gadis yang ia nikahi adalah saudara teman sepengajiannya di kampus. Laili namanya. Kebetulan mereka berdua berada di kampus yang sama. Namun beda fakultas. Farid fakultas teknik, sedangkan Laili fakultas kedokteran. Farid yang kini tinggal menyelesaikan skripsinya itu berjibaku menghidupi keluarga kecilnya dengan berjualan online. Apapun ia jual asalkan untung.

Hidup terasa bahagia untuknya dan Laili. Meski pas-pasan tak ada keluhan di mata istrinya. Laili tahu, Farid hanyalah mahasiswa yang kerja serabutan, belum mempunyai penghasilan yang tetap. Tapi hidup bersama suaminya sudah sangat membahagiakannya.

"Sa... sarah?" Tiba-tiba ia berjumpa dengan teman lamanya dulu semasa SMA di sebuah cafe di pinggir kota.

Farid tak menyangka akan berjumpa Sarah di tempat itu. Yang ia tahu gadis itu telah menyelesaikan kuliahnya dua tahun lalu dan menikah dengan seorang dosen muda di kampus tempat ia kuliah di kota seberang dan menetap disana.

"Hei... ada apa?" Matanya yang sembab membuat Farid tidak tega meninggalkannya begitu saja.

Mereka pun duduk di satu meja kecil di dekat jendela. Sampai kopi yang ada di meja itu dingin Sarah pun belum membuka mulutnya. Farid sedikit terkejut dengan penampilan Sarah. Meskipun pendek Sarah sudah berjilbab. Tapi soal bawahan tidak jauh berbeda dengan pakaiannya dahulu. Sedikit ketat.

"Apa yang terjadi sarah? Cerita... biar kita selesaikan sama-sama." Tanya Farid yang tak sabar menunggu.

Perempuan itu sedikit demi sedikit membuka mulutnya. Ia bercerita kalau ia baru saja bercerai dengan suaminya. Masalah rumah tangga yang tidak kunjung usai membuat keduanya memutuskan untuk berpisah. Namun Sarah masih belum mampu menerima status janda yang melekat padanya diusia yang masih teramat senja.

Curhatan-curhatan itu berlanjut di alam maya. Chat demi chat bersahut-sahutan di antara mereka berdua. Farid dengan sabar membalas satu persatu curhatan Sarah. Dan terjadilah pertemuan kedua.

"Kau mencintaiku kan Rid?"

Sontak dada Farid terguncang. Ingatan masa lalu yang hampir ia lupa kini seolah dihadirkan kembali di hadapannya. Angan-angan untuk memiliki Sarah yang dulu amat memenuhi hatinya yang terpaksa ia buang kini bagai bunga di musim semi yang semakin mekar.

"A... aku sudah menikah Sarah." Ia menyesali kata-kata yang ia nanti-nantikan dahulu itu kini muncul di saat yang tidak tepat. Di saat ia sudah menikahi perempuan lain.

"Aku tak masalah Farid kau poligami."

Setelah beberapa pembicaraan kecil, mereka pun pulang. Farid melangkahkan kakinya ke rumah bagai membawa beban berat... sangat berat. Saking tak kuatnya ia pun langsung tidur tanpa banyak berbicara dengan istrinya, Laili.

"Mas... mas... bangun mas..." ujar Laili sambil menggerak-gerakkan badan Farid.

"Apa sih..!!!" Balas Farid agak kasar.

Laili kaget melihat tingkah suaminya itu yang tidak seperti biasa. "Waktu magribnya sudah hampir habis..."

"Astagfirullah... kenapa tidak dibangunkan dari tadi..."

"Aku lihat mas Farid tadi kayaknya lelah sekali..."

Tanpa menggubris penjelasan istrinya Farid langsung ke kamar mandi. Laili bingung dengan sikap suaminya. Ada apa? Ia berharap keanehan ini akan hilang di kemudian hari. Tapi harapan itu tidak berbuah nyata. Hari berganti hari membuatnya berkesimpulan, "Suamiku sudah berubah..." beberapa kali ia menyakan perihal perubahan sikap Farid hanya dibalas dengan ucapan, "Tidak ada apa-apa..."

Laili mencari tahu. Ia tak ingin hidup keluarganya seperti ini terus. Ketika suaminya tidur, ia membuka hp suaminya, berharap ada penjelasan yang ia dapatkan atas rentetan kejadian yang menimpanya.

*****

"Mana makanannya kok nggak ada?" Tanya Farid dengan nada tinggi.

Laili duduk termenung di ruang tamu kecil di kontrakan mereka.

"Mas... mas bilang kalau mau menikah lagi mas... jangan perlakukan aku seperti ini..." ujar Laili sambil menahan tangisnya.

Farid hanya diam. Ia menduga bahwa istrinya itu sudah membuka chay Sarah yang menanyakan kejelasan Farid atas permintaan menikahinya.

"Aku tak kuat mas... aku ingin keluarga kita seperti dulu... penuh dengan keceriaan."

"Aku rela mas poligami, asal mas jangan perlakukan aku seperti ini. Aku ini perempuan mas." Ujar Laili sesenggukan.

Melihatnya Farid tak tega. Ia mulai menyadari betapa sikapnya sudah menyakiti istrinya begitu dalam. Sedangkan perasaannya terhadap Sarah, sudah berhari-hari ia lawan namun berhari-hari pula ia bertambah kuat.

"Aku tak bisa poligami Laili... aku tak sanggup..."

"Kalau begitu... mas ceraikan saja aku." Kata Laili dengan sedikit mengancam.

Mereka pun bercerai. Farid sangat menyayangkan perceraian itu. Namun ia tak mampu menahan hatinya. Kemelut di hatinya seperti perang yang tiada akhir. Beberapa bulan setelahnya Farid akhirnya menikahi Sarah. Gadis yang ia impi-impikan sejak dulu. Perempuan yang selalu mengisi angan-angannya sampai ia menikahi Laili. Bahkan setelah pernikahannya dengan Laili angan-angan itu tidak sirna. Ia hanya tertidur sampai sesuatu membangunkannya. Namun, indahnya angan tidak selalu mengindahkan kenyataan. Kehidupan Sarah yang sangat berbeda dengan Laili membuatnya kaget. Tidak ada teh hangat di pagi hari. Tidak ada makanan di meja makan. Tidak ada yang mau mencuci baju baju kotor. Semua diantar ke tempat laundry. Kehidupan mereka yang tidak satu arah membuat banyak konflik. Gaya hidup Sarah yang boros membuat Farid tak sanggup menabung. Agama yang belum tertata membuatnya merasa bebas jalan dengan teman-temannya di luar. Tanpa seizin suaminya. Bahkan ngobrol dengan laki-laki terasa tanpa ada yang membatasi. Melihat kondisi yang semakin lama semakin tidak baik ini ia rindu dengan Laili yang ia ceraikan dahulu. Tak lama Farid dan Sarah pun bercerai setelah pertengkaran hebat yang merupakan bom waktu dari rentetan pertengkaran kecil tempo hari. Kini ia menyesali... menyesali kebodohan-kebodohannya. Disaat ia datang kembali ke hadapan Laili... pintu hatinya sudah tertutup rapat.

(Diceritakan ulang dan sedikit dimodifikasi dari novel 'Prahara Cinta' karya ustadz Abu Umar)

*****

Ulama sudah sepakat... berbicara dengan lawan jenis hanyalah pada tingkatan 'jika perlu' saja. Fitnah... kerusakan... perpecahan seperti yang terjadi dicerita ini mungkin bukan satu dua kali terjadi. Maka hendaklah kita berhati-hati dalam berhubungan dengan lawan jenis.

Taubatilah semua kejahilan-kejahilan yang dahulu kita lakukan. Yang kita tidak tahu ilmunya sehingga kita melakukannya. Ngobrol ngalor ngidul dengan perempuan, chatingan, jalan bareng, ketawa-ketiwi, hingga pacaran. Taubatilah semua... sehingga tidak ada yang bersisa di hati kita kecuali penyesalan... penyesalan telah melanggar batasan-batasan yang sudah Allah tetapkan... dan rasa tak ingin melakukan perbuatan-perbuatan semacam itu lagi. Hingga ketika sosok itu hadir kembali, tidak ada yang datang dihatimu kecuali pertolongan-pertolongan Allah.

****
Di tengah rintik hujan di kota Tanjungpinang

Source:  Facebook Bima Sanjaya
Previous
Next Post »
0 Komentar